(ditulis oleh: Al-Ustadz Abu Ishaq
Muslim al-Atsari)
Rasulullah n pernah
menasihatkan kepada Abdurrahman bin Samurah :
يَا عَبْدَ الرَّحْمَنِ بْنَ سَمُرَةَ، لاَ تَسْأَلُ الْإِمَارَةَ، فَإِنَّكَ إِنْ
أُعْطِيْتَهَا عَنْ غَيْرِ مَسْأَلَةٍ أُعِنْتَ عَلَيْهَا وَإِنْ أُعْطِيْتَهَا
عَنْ مَسْأَلَةٍ وُكِلْتَ إِلَيْهَا
“Wahai Abdurrahman bin Samurah, janganlah engkau meminta kepemimpinan. Karena
jika engkau diberi tanpa memintanya niscaya engkau akan ditolong (oleh Allah l
dengan diberi taufik kepada kebenaran). Namun jika diserahkan kepadamu karena
permintaanmu niscaya akan dibebankan kepadamu (tidak akan ditolong).”
Hadits ini diriwayatkan al-Imam al-Bukhari t dalam Shahih-nya no. 7146 dengan
judul “Siapa yang Tidak Meminta Jabatan, Allah l Akan Menolongnya dalam
Menjalankan Tugasnya” dan no. 7147 dengan judul “Siapa yang Meminta Jabatan
Akan Diserahkan Kepadanya (Dengan Tidak Mendapat Pertolongan dari Allah l dalam
Menunaikan Tugasnya).”
Diriwayatkan pula oleh al-Imam Muslim t dalam Shahih-nya no. 1652 yang
diberi judul oleh al-Imam an-Nawawi t “Bab larangan meminta jabatan dan
berambisi untuk mendapatkannya.”
Masih berkaitan dengan permasalahan di atas, juga didapatkan riwayat dari Abu
Dzar al-Ghifari z. Ia berkata, “Wahai Rasulullah, tidakkah engkau menjadikanku
sebagai pemimpin?” Mendengar permintaanku tersebut, beliau menepuk pundakku
seraya bersabda:
يَا أَبَا ذَرٍّ، إِنَّكَ ضَعِيْفٌ وَإِنَّهَا أَمَانَةٌ وَإِنَّهَا يَوْمَ
الْقِيَامَةِ خِزْيٌ وَنَدَامَةٌ، إِلاَّ مَنْ أَخَذَهَا بِحَقِّهَا وَأَدَّى
الَّذِي عَلَيْهِ فِيْهَا
“Wahai Abu Dzar, engkau seorang yang lemah sementara kepemimpinan itu adalah
amanat. Dan nanti pada hari kiamat, ia akan menjadi kehinaan dan penyesalan
kecuali orang yang mengambil dengan haknya dan menunaikan apa yang seharusnya
ia tunaikan dalam kepemimpinan tersebut.” (Sahih, HR. Muslim no. 1825)
Dalam riwayat lain, Rasulullah n bersabda:
يَا أَبَا ذَرٍّ، إِنِّي أَرَاكَ ضَعِيْفًا، وَإِنِّي أُحِبُّ لَكَ مَا أُحِبُّ
لِنَفْسِي، لاَ تَأَمَّرَنَّ اثْنَينِ وَلاَ تَوَلَّيْنَ مَالَ يَتِيْمٍ
“Wahai Abu Dzar, aku memandangmu seorang yang lemah dan aku menyukai untukmu
apa yang kusukai untuk diriku. Janganlah sekali-kali engkau memimpin dua orang1
dan jangan sekali-kali engkau menguasai pengurusan harta anak yatim.” (Sahih,
HR. Muslim no. 1826)
Al-Imam an-Nawawi t membawakan kedua hadits Abu Dzar z di atas dalam kitab
beliau Riyadhush Shalihin, bab “Larangan meminta jabatan kepemimpinan dan
memilih untuk meninggalkan jabatan tersebut jika ia tidak pantas untuk
memegangnya atau meninggalkan ambisi terhadap jabatan.”
Kepemimpinan yang Diimpikan dan Diperebutkan
Menjadi seorang pemimpin dan memiliki sebuah jabatan merupakan impian semua orang
kecuali sedikit dari mereka yang dirahmati oleh Allah l. Mayoritas orang justru
menjadikannya sebagai ajang rebutan khususnya jabatan yang menjanjikan lambaian
rupiah (uang dan harta) serta kesenangan dunia lainnya.
Sungguh benar sabda Rasulullah n ketika beliau menyampaikan hadits yang
diriwayatkan dari Abu Hurairah z:
إِنَّكُمْ سَتَحْرِصُوْنَ عَلَى الْإِمَارَةِ، وَسَتَكُوْنُ نَدَامَةً يَوْمَ
الْقِيَامَةِ
“Sesungguhnya kalian nanti akan sangat berambisi terhadap kepemimpinan, padahal
kelak di hari kiamat ia akan menjadi penyesalan.” (Sahih, HR. al-Bukhari no.
7148)
Bagaimana tidak, dengan menjadi seorang pemimpin, memudahkannya untuk memenuhi
tuntutan hawa nafsunya berupa kepopuleran, penghormatan dari orang lain,
kedudukan atau status sosial yang tinggi di mata manusia, menyombongkan diri di
hadapan mereka, memerintah dan menguasai, kekayaan, kemewahan serta kemegahan.
Wajar bila kemudian untuk mewujudkan ambisinya ini, banyak elite politik atau
“calon pemimpin” di bidang lainnya, tidak segan-segan melakukan politik uang
dengan membeli suara masyarakat pemilih atau mayoritas anggota dewan. Atau
“sekadar” uang tutup mulut untuk meminimalisir komentar miring saat
berlangsungnya masa pencalonan atau kampanye, dan sebagainya. Bahkan yang
ekstrem, ia pun siap menghilangkan nyawa orang lain yang dianggap sebagai rival
dalam perebutan kursi kepemimpinan tersebut, atau seseorang yang dianggap
sebagai duri dalam daging yang dapat menjegal keinginannya meraih posisi
tersebut. Nas’alullah as-salamah wal ‘afiyah.
Al-Muhallab t berkata sebagaimana dinukilkan dalam Fathul Bari (13/135);
“Ambisi untuk memperoleh jabatan kepemimpinan merupakan faktor yang mendorong
manusia untuk saling membunuh. Hingga tertumpahlah darah, dirampasnya harta,
dihalalkannya kemaluan-kemaluan wanita (yang itu semuanya sebenarnya diharamkan
oleh Allah l), dan karenanya terjadi kerusakan yang besar di permukaan bumi.”
Seseorang yang menjadi penguasa dengan tujuan seperti di atas, tidak akan
mendapatkan bagiannya nanti di akhirat kecuali siksa dan azab. Allah l
berfirman:
“Itulah negeri akhirat yang Kami jadikan untuk orang-orang yang tidak ingin
menyombongkan diri di muka bumi dan tidak pula membuat kerusakan. Dan akhir
yang baik itu hanya untuk orang-orang yang bertakwa.” (al-Qashash: 83)
Al-Hafizh Ibnu Katsir t dalam tafsirnya mengatakan, “Allah l mengabarkan
bahwasanya negeri akhirat dan kenikmatannya yang kekal yang tidak akan pernah
lenyap dan musnah, disediakan-Nya bagi hamba-hamba-Nya yang beriman, yang
tawadhu’ (merendahkan diri), tidak ingin merasa tinggi di muka bumi yakni tidak
menyombongkan diri di hadapan hamba-hamba Allah l yang lain, tidak merasa
besar, tidak bertindak sewenang-wenang, tidak zalim, dan tidak membuat
kerusakan di tengah mereka.” (Tafsir Ibnu Katsir, 3/412)
Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin t berkata, “Seseorang yang meminta jabatan seringnya
bertujuan untuk meninggikan dirinya di hadapan manusia, menguasai mereka,
memerintah dan melarangnya. Tentunya tujuan yang demikian ini jelek adanya.
Maka sebagai balasannya, ia tidak akan mendapatkan bagiannya di akhirat. Oleh
karena itu, seseorang dilarang untuk meminta jabatan.” (Syarh Riyadhush
Shalihin, 2/469)
Sedikit sekali orang yang berambisi menjadi pemimpin, kemudian berpikir tentang
kemaslahatan umum serta bertujuan memberikan kebaikan kepada hamba-hamba Allah
l dengan kepemimpinan yang kelak bisa dia raih. Kebanyakan mereka justru
sebaliknya, mengejar jabatan untuk kepentingan pribadi dan kelompoknya. Program
perbaikan dan janji-janji muluk yang digembar-gemborkan sebelumnya, tak lain
hanyalah ucapan yang manis di bibir. Hari-hari setelah mereka menjadi pemimpin
yang kemudian menjadi saksi bahwa mereka hanyalah sekadar mengobral janji
kosong dan ucapan dusta yang menipu. Bahkan yang ada, mereka berbuat zalim dan
aniaya kepada orang-orang yang dipimpinnya. Ibaratnya ketika belum mendapatkan
posisi yang diincar tersebut, yang dipamerkan hanya kebaikannya. Namun ketika
kekuasaan telah berada dalam genggamannya, mereka lantas mempertontonkan apa
yang sebenarnya diinginkannya dari jabatan tersebut. Hal ini sesuai dengan
ungkapan ‘serigala berbulu domba’. Ini sungguh merupakan perbuatan yang
memudaratkan diri mereka sendiri dan nasib orang-orang yang dipimpinnya.
Betapa rakus dan semangatnya orang-orang yang menginginkan jabatan ini, sehingga
Rasulullah n menggambarkan kerakusan terhadap jabatan melebihi dua ekor
serigala yang kelaparan lalu dilepas di tengah segerombolan kambing. Beliau
bersabda:
مَا ذِئْبَانِ جَائِعَانِ أُرْسِلَ فِي غَنَمٍ بِأَفْسَدَ لَهَا مِنْ حِرْصِ
الْمَرْءِ عَلَى الْمَالِ وَالشَّرَفِ لِدِيْنِهِ
“Tidaklah dua ekor serigala yang lapar dilepas di tengah gerombolan kambing
lebih merusak daripada merusaknya seseorang terhadap agamanya karena ambisinya
untuk mendapatkan harta dan kedudukan yang tinggi.” (HR. at-Tirmidzi no. 2482,
disahihkan asy-Syaikh Muqbil dalam ash-Shahihul Musnad, 2/178)
Sifat Seorang Pemimpin
Di tengah gencarnya para elite politik menambang suara dalam rangka memperoleh
kursi ataupun jabatan, maka layak sekali apabila hadits yang diriwayatkan dari
Abdurrahman bin Samurah dan Abu Dzar c di atas dihadapkan kepada mereka,
khususnya lagi pada hadits Abu Dzar z yang menyebutkan kriteria yang harus
diperhatikan dan merupakan hal mutlak jika ingin menjadi pemimpin.
Rasulullah n berkata kepada Abu Dzar z, “Wahai Abu Dzar, engkau seorang yang
lemah.”
Ucapan seperti ini bila disampaikan secara terang-terangan memang akan
memberatkan bagi yang bersangkutan dan akan membekas di hatinya. Namun
amanahlah yang menuntut hal tersebut. Maka hendaknya dijelaskan kepada orang
tersebut mengenai sifat lemah yang melekat pada dirinya. Namun jika seseorang
itu kuat, maka dikatakan kepadanya ia seorang yang kuat. Sebaliknya, bila ia
seorang yang lemah maka dikatakan sebagaimana adanya. Yang demikian ini
merupakan suatu nasihat. Tidaklah berdosa orang yang mengucapkan seperti ini
bila tujuannya untuk memberikan nasihat, bukan untuk mencela atau mengungkit
aib yang bersangkutan.
Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin t berkata, “Makna ucapan Nabi n kepada Abu Dzar z
adalah beliau melarang Abu Dzar menjadi seorang pemimpin karena ia memiliki
sifat lemah, sementara kepemimpinan membutuhkan seorang yang kuat lagi
tepercaya. Kuat dari sisi ia punya kekuasaan dan perkataan yang
didengar/ditaati, tidak lemah di hadapan manusia. Karena apabila manusia menganggap
lemah seseorang, maka tidak tersisa kehormatan baginya di sisi mereka, dan akan
berani kepadanya orang yang paling dungu sekalipun, sehingga jadilah ia tidak
teranggap sedikit pun. Akan tetapi apabila seseorang itu kuat, dia dapat
menunaikan hak Allah l, tidak melampaui batasan-batasan-Nya, dan punya
kekuasaan. Maka inilah sosok pemimpin yang hakiki.” (Syarh Riyadhus Shalihin,
2/472)
Rasulullah n juga menyatakan kepada Abu Dzar z bahwa kepemimpinan itu adalah
sebuah amanat. Karena memang kepemimpinan itu memiliki dua rukun, kekuatan dan amanah. Hal ini dikatakan oleh Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyah t dengan dalil:
“Sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja (pada kita)
ialah orang yang kuat lagi dapat dipercaya.” (al-Qashash: 26)
Penguasa Mesir berkata kepada Yusuf q:
“Sesungguhnya kamu mulai hari ini menjadi seorang yang berkedudukan tinggi lagi
dipercaya pada sisi kami.” (Yusuf: 54)
Allah l menyebutkan sifat Jibril dengan menyatakan:
“Sesungguhnya Al-Qur’an itu benar-benar firman Allah yang dibawa oleh utusan
yang mulia (Jibril), yang mempunyai kekuatan, yang mempunyai kedudukan tinggi
di sisi Allah yang memiliki ‘Arsy. Yang ditaati di kalangan malaikat lagi
dipercaya.” (at-Takwir: 19—21)
Beliau t berkata, “Amanah itu kembalinya kepada rasa takut kepada Allah l, tidak menjual ayat-ayat Allah l dengan harga yang
sedikit, dan tidak takut kepada manusia. Inilah tiga perangai yang Allah l
tetapkan terhadap setiap orang yang memutuskan hukuman atas manusia. Allah l
berfirman:
“Maka janganlah kalian takut kepada manusia, tapi takutlah kepada-Ku. Dan
jangan pula kalian menjual ayat-ayat-Ku dengan harga yang sedikit. Siapa yang
tidak berhukum dengan apa yang Allah turunkan maka mereka itu adalah
orang-orang kafir.” (al-Ma’idah: 44) [as-Siyasah asy-Syar’iyyah, hlm. 12—13]
Al-Imam al-Qurthubi t menyebutkan beberapa sifat dari seorang pemimpin ketika
menafsirkan ayat:
“Dan ingatlah ketika Ibrahim diuji Rabbnya dengan beberapa kalimat (perintah
dan larangan), kemudian Ibrahim menunaikannya. Allah berfirman, ‘Sesungguhnya
Aku akan menjadikanmu sebagi imam (pemimpin) bagi seluruh manusia.’ Ibrahim
berkata, ‘(Dan saya mohon juga) dari keturunanku’. Allah berfiman, ‘Janji-Ku
(ini) tidak mengenai orang-orang yang zalim’.” (al-Baqarah: 124)
Beliau berkata, “Sekelompok ulama mengambil dalil dengan ayat ini untuk
menyatakan seorang imam (pemimpin) itu harus dari kalangan orang yang adil,
memiliki kebaikan dan keutamaan, juga dengan kekuatan yang dimilikinya untuk
menunaikan tugas kepemimpinan tersebut.” (al-Jami’ li Ahkamil Qur’an, 2/74)
Sebenarnya masih ada beberapa syarat pemimpin yang tidak disebutkan di sini
karena ingin kami ringkas. Mudah-mudahan, pada kesempatan yang lain bisa kami
paparkan.
Nasihat bagi yang Sedang Berlomba Merebut Jabatan/Kepemimpinan
Kepemimpinan adalah amanat, sehingga orang yang menjadi pemimpin berarti ia
tengah memikul amanat. Tentunya, yang namanya amanat harus ditunaikan
sebagaimana mestinya. Dengan demikian tugas menjadi pemimpin itu berat,
sehingga sepantasnya yang mengembannya adalah orang yang cakap dalam bidangnya.
Karena itulah, Rasulullah n melarang orang yang tidak cakap untuk memangku
jabatan karena ia tidak akan mampu mengemban tugas tersebut dengan semestinya.
Rasulullah n juga bersabda:
إِذَا ضُيِّعَتِ الْأَمَانَةُ فَانْتَظِرِ السَّاعَةَ. قَالَ: كَيْفَ
إِضَاعَتُهَا؟ قَالَ: إِذَا وُسِّدَ الْأَمْرُ إِلَى غَيْرِ أَهْلِهَا فَانْتَظِرِ
السَّاعَةَ
“Apabila amanah telah disia-siakan, maka nantikanlah tibanya hari kiamat. Ada
yang bertanya, ‘Wahai Rasulullah, apa yang dimaksud dengan menyia-nyiakan
amanat?’ Beliau menjawab, ‘Apabila perkara itu diserahkan kepada selain
ahlinya, maka nantikanlah tibanya hari kiamat’.” (Sahih, HR. al-Bukhari no. 59)
Selain itu, jabatan tidak boleh diberikan kepada seseorang yang memintanya dan
berambisi untuk mendapatkannya. Abu Musa z berkata, “Aku dan dua orang
laki-laki dari kaumku pernah masuk menemui Rasulullah n. Maka salah seorang
dari keduanya berkata, ‘Angkatlah kami sebagai pemimpin, wahai Rasulullah’.
Temannya pun meminta hal yang sama. Bersabdalah Rasulullah n:
إِنَّا لاَ نُوَلِّي هَذَا مَنْ سَأَلَهُ وَلَا مَنْ حَرَصَ عَلَيْهِ
“Kami tidak menyerahkan kepemimpinan ini kepada orang yang memintanya dan tidak
pula kepada orang yang berambisi untuk mendapatkannya.” (HR. al-Bukhari no.
7149 dan Muslim no. 1733)
Hikmah dari hal ini, kata para ulama, adalah orang yang memangku jabatan karena
permintaannya, maka urusan tersebut akan diserahkan kepada dirinya sendiri dan
tidak akan ditolong oleh Allah l, sebagaimana sabda Rasulullah n kepada
Abdurrahman bin Samurah z di atas, ”Bila engkau diberi tanpa memintanya niscaya
engkau akan ditolong (oleh Allah l dengan diberi taufik kepada kebenaran).
Namun bila diserahkan kepadamu karena permintaanmu niscaya akan dibebankan
kepadamu (tidak akan ditolong).” Siapa yang tidak ditolong maka ia tidak akan
mampu. Tidak mungkin suatu jabatan itu diserahkan kepada orang yang tidak
cakap. (Syarh Shahih Muslim, 12/208, Fathul Bari, 13/133, Nailul Authar, 8/294)
Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin t berkata, “Sepantasnya bagi seseorang tidak meminta
jabatan apa pun. Namun bila ia diangkat bukan karena permintaannya, maka ia
boleh menerimanya. Akan tetapi jangan ia meminta jabatan tersebut dalam rangka
wara’ dan kehati-hatiannya, karena jabatan dunia itu bukanlah apa-apa.” (Syarh
Riyadhush Shalihin, 2/470)
Al-Imam an-Nawawi t berkata ketika mengomentari hadits Abu Dzar z, “Hadits ini
merupakan pokok yang agung untuk menjauhi kepemimpinan, terlebih lagi bagi
seseorang yang lemah untuk menunaikan tugas-tugas kepemimpinan tersebut. Adapun
kehinaan dan penyesalan akan diperoleh bagi orang yang menjadi pemimpin
sementara ia tidak pantas dengan kedudukan tersebut, atau ia mungkin pantas
namun tidak berlaku adil dalam menjalankan tugasnya. Maka Allah l
menghinakannya pada hari kiamat, membuka kejelekannya, dan ia akan menyesali
kesia-siaan yang dilakukannya. Adapun orang yang pantas menjadi pemimpin dan
bisa berlaku adil, maka akan mendapatkan keutamaan yang besar sebagaimana
ditunjukkan oleh hadits-hadits yang sahih seperti hadits, ‘Ada tujuh golongan
yang Allah lindungi mereka pada hari kiamat, di antaranya imam (pemimpin) yang
adil.’ Juga hadits yang disebutkan setelah ini tentang orang-orang yang berbuat
adil nanti di sisi Allah l (pada hari kiamat) berada di atas mimbar-mimbar dari
cahaya. Demikian pula hadits-hadits lainnya. Kaum muslimin sepakat akan
keutamaan hal ini. Namun bersamaan dengan itu, karena banyaknya bahaya dalam
kepemimpinan tersebut, Rasulullah n memperingatkan darinya, demikian pula
ulama. Beberapa orang yang saleh dari kalangan pendahulu kita mereka menolak
tawaran sebagai pemimpin dan mereka bersabar atas gangguan yang diterima akibat
penolakan tersebut.” (Syarah Shahih Muslim, 12/210—211)
Ada sebagian orang menyatakan bolehnya meminta jabatan dengan dalil permintaan
Nabi Yusuf q kepada penguasa Mesir:
“Jadikanlah aku bendahara negara (Mesir), sesungguhnya aku adalah orang yang
pandai menjaga lagi berpengetahuan.” (Yusuf: 55)
Maka dijawab, bahwa permintaan beliau q ini bukan karena ambisi beliau untuk
memegang jabatan kepemimpinan. Namun semata karena keinginan beliau untuk
memberikan kemanfaatan kepada manusia secara umum, sementara beliau melihat
dirinya memiliki kemampuan, kecakapan, amanah, dan menjaga terhadap apa yang
tidak mereka ketahui. (Taisir al-Karimirrahman, hlm. 401)
Al-Imam asy-Syaukani t berkata, “Nabi Yusuf q meminta demikian karena
kepercayaan para nabi terhadap diri mereka dengan sebab adanya penjagaan dari
Allah l terhadap dosa-dosa mereka (ma’shum). Sementara syariat kita yang sudah
kokoh (tsabit) tidak bisa ditentang oleh syariat umat yang terdahulu sebelum
kita, karena bisa jadi meminta jabatan dalam syariat Nabi Yusuf q pada waktu
itu dibolehkan.” (Nailul Authar, 8/ 294)
Ketahuilah, wahai mereka yang sedang memperebutkan kursi jabatan dan
kepemimpinan sementara dia bukan orang yang pantas untuk mendudukinya, kelak
pada hari kiamat kedudukan itu nantinya akan menjadi penyesalan karena
ketidakmampuannya dalam menunaikan amanat sebagaimana mestinya. Al-Qadhi
al-Baidhawi t berkata, “Karena itu, tidak sepantasnya orang yang berakal,
bergembira, dan bersenang-senang dengan kelezatan yang diakhiri dengan
penyesalan dan kerugian.” (Fathul Bari, 13/134)
Faedah Hadits
1. Kepemimpinan, jabatan, kekuasaan, dan kedudukan tidak boleh diberikan kepada
orang yang memintanya, berambisi untuk meraihnya, dan menempuh segala cara
untuk bisa mendapatkannya.
2. Orang yang paling berhak menjadi pemimpin, penguasa, dan memangku jabatan/
kedudukan adalah orang yang menolak ketika diserahkan kepemimpinan, jabatan,
dan kedudukan tersebut dalam keadaan ia benci dan tidak suka dengannya.
3. Kepemimpinan adalah amanat yang besar dan tanggung jawab yang berat. Maka
wajib bagi yang menjadi pemimpin untuk memerhatikan hak orang-orang yang di
bawah kepemimpinannya dan tidak boleh mengkhianati amanat tersebut.
4. Keutamaan dan kemuliaan bagi seseorang yang menjadi pemimpin dan penguasa
apabila memang ia pantas memegang kepemimpinan dan kekuasaan tersebut. Sama
saja, baik ia seorang pemimpin negara yang adil, bendahara yang tepercaya,
ataukah karyawan yang menguasai bidangnya.
5. Ajakan kepada manusia untuk tidak berambisi meraih kedudukan tertentu,
khususnya bila ia tidak pantas mendapat kedudukan tersebut.
6. Kerasnya hukuman bagi orang yang tidak menunaikan kepemimpinan dengan
semestinya, tidak memerhatikan hak orang-orang yang dipimpin, dan tidak
melakukan upaya optimal dalam memperbagus urusan kepemimpinannya.
Wallahu ta‘ala a‘lam bish-shawab.
1 Terlebih lagi bila memimpin lebih
dari dua orang. (Syarh Riyadhush Shalihin, 2/472)
http://asysyariah.com/category/majalah-asysyariah-edisi-29